Minggu, 05 November 2017

Pembelajaran IPS sebagai Pendidikan Nilai pada AUD




PEMBELAJARAN IPS AUD

PEMBELAJARAN IPS SEBAGAI PENDIDIKAN NILAI PADA AUD


OLEH :

KELOMPOK 2


1.      Eka Srinitami

2.      Sari utami




















Dosen Pengampu : Dodi harianto, M.Pd.I











JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

2017/2018


KATA PENGANTAR


Bismillahirrahmaniirrahim

Segala puji kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahnya sehingga penulisan makalah yang berjudul “pembelajaran IPS sebagai pendidikan nilai pada AUD” Insya Allah diberi kemudahan dan kelancaran dalam penyusunan dan yang terpenting dari itu semoga isi dari makalah ini memuat kebenaran sehingga kita sebagai kaum intelektual muslim dapat semakin bijak menghadapi kehidupan modern di zaman ini.

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia ini ke jalan yang benar.

Makalah ini merupakan salah satu bentuk pemenuhan tugas perkuliahan, yang diampu oleh bapak Dodi harianto,M.Pd. Dalam proses penyajiannya, makalah ini berusaha ditulis dengan baik. Sejumlah sumber kami gunakan untuk membantu kami dalam memahami penemuan tentang perkembangan otak.

Akhirnya, kami menunggu koreksi serta saran dari pembaca sebagai bentuk apresiasi, sekaligus motivasi kepada kami untuk terus mencari pengetahuan yang lebih. Karena melalui hal tersebut, kami mengharapkan akan muncul nilai-nilai kritis yang mampu membangun pola pikir yang baik dan benar untuk dijadikan alat dalam membangun diri khususnya maupun tatanan masyarakat pada umunya menjadi lebih baik.

Akhir kata kami mohon maaf dari segala kekurangan dalam penulisan makalah ini.


Jambi,   oktober 2017

Kelompok 2


















ii


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR......................................................................................................................... i

DAFTAR ISI............................................................................................................................................. ii


BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang.................................................................................................................................. 1

B.    Rumusan Masalah........................................................................................................................... 1

C.    Tujuan.................................................................................................................................................... 1


BAB II PEMBAHASAN

A.  Landasan hak memperoleh pendidikan.................................................................................. 2

B.  Hakikat pendidikan bagi anak..................................................................................................... 5

C.  Makna pendidikan dan pendidikan sebagai sebuah sistem.......................................... 7

D.  Pendidikan nilai sebagai keniscayaan bagi anak bangsa............................................... 9


BAB III PENUTUP

Kesimpulan................................................................................................................................................ 17


DAFTAR PUSTAKA































iii


BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Ketentuan umum Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS point 2 menyebutkan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Selain itu, dalam Bab II Pasal 3 disebutkan pula bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Adanya kata-kata beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam tujuan pendidikan nasional di atas menandakan bahwa yang menjadi bahan dalam praktek pendidikan hendaknya berbasis kepada seperangkat nilai sebagai paduan antara ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Bahkan, tujuan pendidikan nasional yang utama menekankan pada aspek keimanan dan ketakwaan.

B.     Rumusan Masalah

Bagaimana Pembelajaran IPS sebagai pendidikan nilai pada AUD

C.    Tujuan

Untuk mengetahui pembelajaran IPS sebagai pendidikan nilai pada AUD


















1


BAB II

PEMBAHASAN


PEMBELAJARAN IPS SEBAGAI PENDIDIKAN NILAI PADA ANAK USIA DINI


A.    LANDASAN HAK MEMPEROLEH PENDIDIKAN 1. Landasan Yuridis

Hak memperoleh pendidikan sebenarnya telah digariskan secara yuridis dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Bab XIII, pasal 31 ayat 1 dan 2 : 1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran;

2)        Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Demikian juga yang terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan, "bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan

berkesinambungan”. Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, Pasal 54 disebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan secara mandiri, efisien, efektif dan akuntabel. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan jenjang pendidikan yang sangat penting dalam mempersiapkan anak untuk mengikuti pendidikan dasar sehingga perlu dikelola dengan perencanaan dan penyelanggaraan yang baik. Keberlangsungan dan perkembangan pendidikan PAUD tidak terlepas dari peran serta pendidik PAUD. Para pendidik tersebut harus mampu memahami kebutuhan dengan pendidikan anak, sehingga keberadaannya benar-benar dapat memberikan layanan yang bermutu bagi masyarakat. Pusat Pengembangan Sumberdaya Manusia (P2SDM) LPPM IPB memandang perlu menyelenggarakan Pelatihan Guru PAUD untuk





2


Peningkatan Kompetensi Pendidik PAUD dalam Proses Belajar Mengajar. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam proses belajar mengajar PAUD adalah Beyond Centers and Circle Times (BCCT), yaitu anak dirangsang untuk secara aktif melakukan kegiatan bermain sambil belajar. Untuk itu sentra-sentra pembelajaran disiapkan secara permanen, lengkap dengan fasilitas yang dibutuhkan dan selalu menggunakan pijakan duduk melingkar sebelum dan sesudah melakukan kegiatan dalam sentra. Pendekatan pembelajaran berfokus pada anak sebagai subjek “pembelajar” sehingga anak terbantu dalam pengembangan dirinya sesuai dengan bakat/potensi masing-masing. Dasar-dasarPelaksanan (1) UU RI No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. (2) UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (3) Peraturan Pemerintah RI No. 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luas Sekolah (4) Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (5) Permendiknas No. 8 Tahun 2005

tentang          Organisasi           dan          Tata          Kerja           Ditjen          PMPTK

Demikian sebenarnya secara hukum kita sudah memiliki landasan yang kuat untuk mewujudkan hak anak dalam memperoleh pendidikan di negara ini, apabila pemerintah saat ini belum mampu melaksanakan ketentuan yang telah digariskan oleh Undang-undang kita dapat mengkritisinya berdasarkan landasan hukum yang berlaku di negara kita, bahkan pemerintah sendiri telah menyediakan wadah bagi masyarakat untuk dijadikan tempat pengaduan berupa lembaga yang independen demi terwujudnya pendidikan yang seharusnya sudah menjadi hak bagi semua anak di sudut-sudut bumi pertiwi ini. Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.

2.   Landasan Religius

Anak adalah amanat bagi kedua orang tuanya, kewajiban orang tua memberikan pendidikan kepada anak merupakan urusan yang sangat berharga dan menempati prioritas tertinggi. Kalbu seorang anak yang masih bersih bak permata yang tak ternilai harganya, bila ia dididik dan





3


dibiasakan untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik, sebaliknya bila ia dididik dan dibiasakan dengan perbuatan jelek, maka ia akan menjadi orang yang merugi dan celaka dunia akhirat. Demikian yang ditulis Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddinnya. Menurut pandangan Islam mengenai hak anak dalam mendapatkan pendidikan sebetulnya terkait erat dengan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya. Orang tua berkewajiban memberikan perhatian kepada anak dan dituntut untuk tidak lalai dalam mendidiknya. Jika anak merupakan amanah dari Allah SWT, maka otomatis mendidiknya termasuk bagian dari menunaikan amanah-Nya. Sebaliknya, melalaikan hak-hak mereka termasuk khianat terhadap amanah Allah SWT (QS. An-Nisa: 58). Perkembangan dan kecerdasan anak ditentukan bagaimana orang tua mendidiknya. Oleh karena itu, amanah mendidik anak merupakan sebuah hal yang teramat penting dan tidak seharusnya disepelekan oleh orang tua, kewajiban mereka terhadap anaknya bukan sekedar memenuhi kebutuhan secara lahir seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya, tetapi juga harus memperhatikan kebutuhan bathin mereka melalui pendidikan (agama). Sebagaimana Allah SWT berfirman yang tercantum dalam kitab Alqur'an yang mulia : "Wahai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (QS. At-Tahrim :6). Mengenai pentingnya menunaikan "amanah" dipertegas juga dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Buhari: "Barangsiapa diberi amanah oleh Allah, lalu ia mati (sedangkan pada) hari kematiannya ia dalam keadaan mengkhinati amanahnya, niscaya Allah mengharamkan surga baginya". Dari riwayat lain, Ibnul Qayyim berkata, "Barangsiapa yang melalaikan pendidikan anaknya serta meninggalkannya secara sia-sia, berarti ia telah berbuat yang terburuk". Demikian sebagai bangsa yang beragama khususnya bagi yang beragama Islam, mewujudkan pendidikan bukanlah sekedar tugas pemerintah, melainkan lebih kepada tanggung jawab kita sebagai orang tua untuk mendidik anak yang dapat dimulai dari lingkungan terdekat yaitu keluarga.





4




B.  HAKIKAT PENDIDIKAN BAGI ANAK

Menelusuri hakikat pendidikan bagi anak sebenarnya erat kaitannya dengan pengertian anak sebagai manusia dan makhluk Allah termasuk tujuan-tujuannya. Anak dilahirkan dalam kondisi yang lemah dan tidak tahu apapun, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi sesosok manusia yang sesungguhnya. Pertumbuhan dan perkembangan manusia tidak dapat diserahkan begitu saja kepada alam lingkungannya; ia memerlukan bimbingan dan pengarahan karena terbatas kondisi fisik serta kemampuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang sebenarnya memerlukan pendidikan. (Sauri , 2006 : 39) Ibarat bayi yang baru lahir dalam keadaan yang serba lemah. Ia belum dapat berdiri sendiri, belum bisa mencari makan sendiri. Semuanya dalam keadaan yang serba tergantung pada orang lain. Walaupun demikian, ia telah menunjukkan keunikannya kendati dalam takaran yang sederhana. Pada saat ia lahir dari kandungan ibunya ia telah mengekspresikan dirinya dalam bentuk tangis atau gerakan-gerakan tertentu. Tangis atau gerakan yang tanpa latihan itu menggambarkan bahwa anak sejak

lahir telah memiliki potensi untuk berkembang. Ada beberapa pandangan yang bisa mempengaruhi perkembangan anak diantaranya: pertama, pandangan Nativisme yaitu berpendapat bahwa perkembangan individu semata-mata ditentukan oleh faktor yang dibawa sejak lahir, pandangan ini diperkenalkan oleh filsof Jerman Schopenhauer (1788-1880) Kedua, pandangan Environtalisme yang dikemukakan oleh John Locke seorang filsof Inggris (1632-1704) berpendapat bahwa perkembangan anak bergantung pada lingkungannya. Ketiga, pandangan Konvergensi yang berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, faktor bawaan ataupun faktor lingkungan memberikan kontribusi yang sepadan. Pandangan ini dikembangkan oleh William Stern seorang ahli pendidikan Jerman yang hidup pada tahun 1871-1939. Pendapat pandangan ini tidak memisahkan secara terkotak-kotak antara faktor bawaan dengan faktor lingkungan. Faktor bawaan misalnya bakat seseorang, bisa tidak akan berkembang manakala tidak ada lingkungan yang mendukungnya. Sebaliknya lingkungan yang baik akan




5


kurang bermakna apa-apa manakala anak sendiri tidak menunjukkan bakat atau kemampuanya untuk mengembangkan diri. Ini mengandung maksud bahwa anak dengan segala potensi yang dimilikinya adalah makhluk yang memerlukan bantuan untuk berkembang ke arah kedewasaan. Oleh karena itu, dalam tahapan selanjutnya ia perlu dibimbing dan diberi pendidikan ke arah pendewasaan dirinya. Adapun menurut pandangan Islam, anak adalah sebagai manusia yang mempunyai watak dasar (fitrah) yang baik, yang dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang datang di luar dirinya. Konsep Al-Qur'an mengenai fitrah berbeda dengan konsep teori atau pandangan yang lain seperti disebutkan di atas. Tentang Fitrah ini dapat ditemukan dalam QS. Ar-Ruum ayat 30: "(Tetaplah) atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah itu." Namun diakui dalam pemikiran Islam bahwa lingkungan berpengaruh juga pada perkembangan fitrah anak seperti diungkapkan dalam sabda Nabi Muhammad SAW: "Tiada seorang manusia dilahirkan, kecuali dalam keadaan fitrah (suci). Orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi dan Nasrani". (HR. Muslim). Dalam riwayat lain : "Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (islam), orang tuanyalah yang menjadikan ia

Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR. Bukhari Muslim) Fitrah tanpa memperdulikan lingkungan sekitar tidak akan berkembang, mengutip ungkapan yang di tulis Confucius "Walau manusia mempunyai fitrah kesucian, namun tanpa diikuti dengan intruksi (pendidikan dan sosialisai), manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi." Tetapi dalam perkembangannya anak tidak dapat dipandang sebagai budak lingkungan, Artinya lingkungan bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi individu anak. Namun yang jelas menurut pandangan Islam anak sebagai manusia yang diciptakan Allah SWT berdasarkan fitrahnya, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Fitrah inilah yang kemudian akan membedakan manusia dengan makhluq Allah lainnya, dan fitrah ini pulalah yang membuat manusia itu istimewa dan lebih mulia. Hal demikan sesungguhnya menunjukkan kepada kita bahwa manusia dapat memperoleh kecakapan melalui sesuatu yang bisa merubah dirinya menjadi lebih baik dan





6


tahu tentang berbagai hal, yaitu melalui pendidikan. Karena pendidikan merupakan salah atu jembatan membuka tabir ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan melalui pendidikan pula manusia derajatnya bisa meningkat dan kehidupannya akan berubah sesuai dengan tingkat pendidikannya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al- Mujadilah ayat 11: " …….

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. . ."


C.  MAKNA PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN SEBAGAI SEBUAH SISTEM

Makna Pendidikan dalam kajian yuridis formal, makna pendidikan seperti tersurat dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diungkapkan sebagai berikut:"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pada rumusan tersebut, minimal terdapat 4 (empat) hal yang patut mendapat telaah seksama dalam mencermati makna pendidikan, yaitu: "usaha sadar", bagaimana" menyiapkannya, "melalui apa dan bagaimana", serta bagaimana mengetahui hasilnya terutama dalam "peranannya di masa mendatang". Pertama, pendidikan sebagai usaha sadar. Hal tersebut memiliki makna bahwa pendidikan diselengarakan dengan rencana yang matang, mantap, sistematik, menyeluruh, berjenjang berdasarkan pemikiran yang rasional obyektif disertai dengan kaidah untuk kepentingan masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Kedua, fungsi pendidikan adalah menyiapkan peserta didik. Maksudnya pendidikan lebih merupakan suatu proses berkesinambungan dalam upaya menyiapkan peserta didik menuju kesiapan dan kematangan pribadi yang menyangkut tiga aspek yaitu pengetahuan (kognitif), sikap atau perilaku (afektif) dan keterampilan (psikomotorik). Ketiga, Strategi pelaksanaan pendidikan dilakukan melalui berbagai bentuk kegiatan antara lain kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau pelatihan.





7


Secara sederhana bimbingan (guidance) dimaknakan sebagai pemberian bantuan, arahan, nasihat, penyuluhan agar peserta didik dapat mengatasi dan memecahkan masalah yang dialaminya. Sedangkan pengajaran (teaching) adalah bentuk interaksi antara tenaga kependidikan dengan peserta didik dalam suatu kegiatan belajar-mengajar untuk mengembangkan perilaku sesuai dengan tujuan pengajaran. Keempat, garapan pendidikan seyogyanya berpijak ke masa kini dan beroreintasi ke masa depan. Hasilnya yang ingin dicapai oleh proses pendidikan adalah terbinanya sumber daya manusia dengan tuntutan pembangunan, yaitu sosok manusia Indonesia seutuhnya yang bisa memecahkan persoalan hari ini dan masa mendatang. Pendidikan sebagai sebuah sistem
Pendidikan sebagai suatu sistem dapat ditinjau dari dua hal:

1.       sistem pendidikan secara mikro;

2.       sistem pendidikan secara makro. Pendidikan secara mikro lebih menekankan pada unsur pendidik dan peserta didik. Polanya lebih merupakan sebagai upaya mencerdaskan peserta didik melalui proses interaksi dan komunikasi, yaitu ada pesan (message) yang akan disampaikan dalam bentuk bahan belajar. Kemudian fungsi pendidik lebih merupakan sebagai pengirim pesan (senders) melalui kegiatan pembelajaran di kelas ataupun di luar kelas. Dalam kajian makro, sistem pendidikan menyangkut berbagai hal atau komponen yang lebih luas lagi, yaitu terdiri dari :

a.       input (masukan) berupa sistem nilai dan pengetahuan, sumber daya manusia, masukan instrumental berupa kurikulum, silabus dsb, masukan sarana termasuk di dalamnya fasilitas dan sarana pendidikan yang harus disiapkan;

b.      Proses yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan proses belajar mengajar atau proses pembelajaran di sekolah maupun di luar sekolah. Dalam komponen proses ini termsuk di dalamnya telaah kegiatan belajar dengan segala dinamika dan unsur yang mempengaruhinya, serta telaah kegiatan pembelajaranyang dilakukan pendidikdalam







8


kerangka memberikan kemudahan kepada peserta didik untuk terjadinya proses pembelajaran;

c.       Keluaran (output) yaitu hasil yang diperoleh pendidikan bukan hanya terbentuknya pribadi lulusan/peserta didik yang memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan sesuai dengan yang diharapkan dalam tujuan yang ingin dicapai. Namun juga keluaran penddikan mencakup segala hal yang dihsilkan oleh garapan pendidikan berupa : kemampuan peserta didik (human behavior), produk jasa (services) dalam pendidikan seperti hasil penelitian, produk barang berupa karya iintelektua ataupun karya yang sifatnya fisik material.


D.    PENDIDIKAN NILAI SEBAGAI KENISCAYAAN BAGI ANAK BANGSA.

Ketentuan umum Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS point 2 menyebutkan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Selain itu, dalam Bab II Pasal 3 disebutkan pula bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Adanya kata-kata beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam tujuan pendidikan nasional di atas menandakan bahwa yang menjadi bahan dalam praktek pendidikan hendaknya berbasis kepada seperangkat nilai sebagai paduan antara ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Bahkan, tujuan pendidikan nasional yang utama menekankan pada aspek keimanan dan ketakwaan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa core value pembangunan karakter moral bangsa bersumber dari keyakinan





9


beragama. Artinya, semua proses pendidikan harus bermuara pada penguatan nilai-nilai ketuhanan sesuai dengan keyakinan agama yang diyakininya. Praktek pendidikan pada jalur formal dewasa ini justru cenderung kurang memperhatikan esensi dari tujuan pendidikan nasional di atas, hal ini terbukti dengan kurang memadukannya nilai-nilai ketuhanan dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya, ironisnya justru lebih banyak berorientasi kepada pengembangan struktur kognitif semata. Fenomena tersebut tentunya sangat bertentangan dan membuat jarak antara tujuan dan hasil pendidikan nasional semakin jauh. Berbagai fenomena sebagaimana disebutkan pada bagian pendahuluan, serta kenyataan semakin menggelindingnya proses dekadensi moral dikalangan generasi bangsa, semakin menunjukan bahwa praktek pendidikan dewasa ini tidak bersandar kepada amanah undang-undang yang mengisyaratkan pendidikan yang berbasis kepada seperangkat nilai (baca: pendidikan nilai), serta semakin

penting                    dan                    mendesaknya                    pendidikan                    nilai.

Pendidikan nilai merupakan proses penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Dalam pengertian yang hampir sama, Mardiatmadja dalam Mulyana (2004:119) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Pendidikan nilai tidak hanya merupakan program khusus yang diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran, akan tetapi mencakup keseluruhan program pendidikan. Minimal terdapat empat faktor yang mendukung pendidikan nilai dalam proses pembelajaran berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN)

Nomor                                         20                                         tahun                                         2003:

Pertama, UUSPN No. 20 Tahun 2003 yang bercirikan desentralistik menunjukkan bahwa pengembangan nilai-nilai kemanusiaan terutama yang dikembangkan melalui demokratisasi pendidikan menjadi hal utama. Desenteralisasi tidak hanya dimaknai sebagai pelimpahan wewenang pengelolaan pendidikan pada tingkat daerah atau sekolah, tetapi sebagai upaya pengembangan dan pemberdayaan nilai secara otonom bagi para pelaku pendidikan.





10


Kedua, tujuan pendidikan nasional yang utama menekankan pada aspek keimanan dan ketaqwaan. Ini mengisyaratkan bahwa core value pembangunan karakter moral bangsa bersumber dari keyakinan beragama. Artinya bahwa semua peroses pendidikan harus bermuara pada penguatan nilai-nilai

ketuhanan sesuai dengan keyakinan agama yang diyakini. Ketiga, disebutkannya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada UUSPN No. 20 Tahun 2003 menandakan bahwa nilai-nilai kehidupan peserta didik perlu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan belajar mereka. Kebutuhan dan kemampuan peserta didik hanya dapat dipenuhi kalau proses pembelajaran menjamin tumbuhnya perbedaan individu. Oleh karena itu, pendidikan dituntut mampu mengembangkan tindakan-tindakan edukatif yang deskriptif, kontekstual dan bermakna. Keempat, perhatian UUSPN No. 20 Tahun 2003 terhadap usia dini (PAUD) memiliki misi nilai yang amat penting bagi perkembangan anak. Walaupun persepsi nilai dalam pemahaman anak belum sedalam pemahaman orang dewasa, namun benih-benih untuk mempersepsi dan mengapresiasi dapat ditumbuhkan pada usia dini. Usia dini adalah masa pertumbuhan nilai yang amat penting karena usia dini merupakan golden age. Di usia ini anak perlu dilatih untuk melibatkan pikiran, perasaan, dan tindakan seperti menyanyi, bermain, menulis, dan menggambar agar pada diri mereka tumbuh nilai-nilai kejujuran, keadilan, kasih sayang, toleransi, keindahan, dan tanggung jawab dalam pemahaman nilai menurut kemampuan mereka. Dari berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam praktek pendidikan nilai, pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) merupakan pendekatan yang paling tepat digunakan dalam pelaksanaan pendidikan nilai di Indonesia. Walaupun pendekatan ini dikritik sebagai pendekatan indoktrinatif oleh penganut filsafat liberal. Namun, berdasarkan kepada nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan falsafah Pancasila, pendekatan ini dipandang paling sesuai. Alasan-alasan untuk mendukung pandangan ini antara lain sebagai berikut.

1.      Tujuan pendidikan nilai adalah penanaman nilai-nilai tertentu dalam diri siswa. Pengajarannya bertitik tolak dari nilai-nilai sosial tertentu, yakni







11


nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia lainnya, yang tumbuh dan berkembangan dalam masyarakat Indonesia.

2.      Menurut nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan pandangan hidup Pancasila, manusia memiliki berbagai hak dan kewajiban dalam hidupnya. Setiap hak senantiasa disertai dengan kewajiban, misalnya: hak sebagai pembeli, disertai kewajiban sebagai pembeli terhadap penjual; hak sebagai anak, disertai dengan kewajiban sebagai anak terhadap orang tua; hak sebagai pegawai negeri, disertai kewajiban sebagai pegawai negeri terhadap masyarakat dan negara; dan sebagainya. Dalam rangka pendidikan nilai, siswa perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajibannya, supaya menyadari dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban tersebut dengan sebaik-baiknya.

3.      Menurut konsep Pancasila, hakikat manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa, makhluk sosial, dan makhluk individu. Sehubungan dengan hakikatnya itu, manusia memiliki hak dan kewajiban asasi, sebagai hak dan kewajiban dasar yang melekat eksistensi kemanusiaannya itu. Hak dan kewajiban asasi tersebut juga dihargai secara berimbang. Dalam rangka pendidikan nilai, siswa juga perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajiban asasinya sebagai manusia.

4.      Dalam pengajaran nilai di Indonesia, faktor isi atau nilai merupakan hal yang amat penting. Dalam hal ini berbeda dengan pendidikan moral dalam masyarakat liberal, yang hanya mementingkan proses atau keterampilan dalam membuat pertimbangan moral. Pengajaran nilai menurut pandangan tersebut adalah suatu indoktrinasi yang harus dijauhi. Anak harus diberikan kebebasan untuk memilih dan menentukan nilainya sendiri. Pandangan ini berbeda dengan falsafah Pancasila dan budaya luhur bangsa Indonesia, yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya, berzina, berjudi, adalah perbuatan tercela yang harus dihindari; orang tua harus dihormati, dan sebagainya. Nilai-nilai ini harus diajarkan kepada anak, sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dalam pengajaran nilai faktor isi nilai dan proses, keduanya sama-sama penting. Salah satu komponen terpenting dalam pendidikan





12


adalah tujuan pendidikan, tujuan pendidikan dapat diartikan sebagai hasil-hasil yang dicita-citakan dari tindakan pendidikan. Tujuan pendidikan harus diarahkan kepada pengembangan tiga dimensi yang dimiliki oleh manusia yaitu dimensi fisikal, mental dan spiritual. Dimensi fisikal lebih ditandai dengan ketercapaian kemampuan dan sikap yang menjadikan manusia sehat dan kuat. Sedangkan mental berhubungan dengan pengembangan intelegensia atau kecerdasan intelektual. Sementara dimensi spiritual yaitu mengarah kepada perwujudan kualitas kepribadian yang bersifat ruhaniah dalam bentuk tingkah laku, akhlak, dan moralitas yang mencerminkan kualitas kepribadian. Ketiga dimensi tersebut harus dicapai secara terintegrasi dan merupakan satu kesatuan yang akan membentuk kepribadian untuk mencapai manusia yang unggul (Human Excellence).

Namun, pada kenyataannya harus diakui bahwa pendidikan yang berlangsung saat ini belum dapat mewujudkan ketiga dimensi/aspek di atas dengan seimbang dan proporsional. Salah satu penyebabnya adalah penyelengaraan pendidikan lebih menitikberatkan pada aspek intelektual dan kurang menyentuh aspek spritual. Karena itu output pendidikan sebagian besar hanya menampilkan performance intelektual, sementara tampilan sikap dan perilaku terpujinya sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, dalam rangka membentuk keseimbangan ketiga aspek tersebut pada anak didik, pendidikan mesti melakukan transfer of knowledge sekaligus transformation and internalization of value. Dalam kaitannya dengan upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang terfokus pada aspek spritual, pendidikan nilai merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan aspek spiritual. Melalui pembelajaran di lembaga-lembaga formal ataupun informal pendidikan nilai dipandang sangat perlu dan penting untuk diterapkan, mengingat semakin maraknya perilaku-perilaku buruk di kalangan remaja maupun anak-anak sekarang yang membuat tanggung jawab sebagai orang tua maupun pendidik semakin berat. Bukan hanya kesabaran dan keikhlasan yang harus lebih ditunjukkan oleh para guru maupun pun orang tua, tetapi pendidikan agama dan penerapan budi pekerti luhur serta keteladanan orang tua menampilkan akhlaq yang mulia





13


harus lebih diintensifkan baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekolah sebagai lembaga formal pendidikan. Penerapan konsep-konsep pendidikan nilai pernah juga diterapkan pada sebuah lembaga pendidikan di Thailand yaitu di sekolah dan Institute of Sathya Sai Education yang didirikan oleh Dr.Art-Ong Jumsai Na-Ayudha, B.A.,M.A.,D.I.C. Bahkan beliau pernah datang ke Indonesia untuk mengisi sebuah seminar internasional yang bertema "Membangun Bangsa melalui Pendidikan Hati" yang diselenggarakan atas kerjasama Prodi Pendidikan Umum/Nilai dengan Yayasan Pendidikan Sthya Sai Indonesia. Dalam makalahnya yang berjudul "Human Values Integrated Instructional Model" (Model Pembelajaran Nilai-nilai Kemanusian Terpadu), beliau menuliskan sebuah konsep tentang tujuan model pembelajaran yang menerapkan konsep pendidikan nilai dengan menggunakan suku kata dalam kata EDUCATION (SAI 2000, p.82), yang maknanya:

E--- singkatan untuk Enlightenment (pencerahan). Ini adalah proses pencapaian pemahaman dari dalam diri atau bathin melalui peningkatan kesadaran menuju pikiran super sadar yang akan memunculkan intuisi, kebijaksanaan, dan pemahaman.

D--- singkatan untuk Duty and Devotion (tugas dan pengabdian). Pendidikan harus membuat siswa menyadari tugasnya dalam hidup. Selain memiliki tugas atau kewajiban yang terhadap orang tua dan keluarga, siswa juga memiliki kewajiban yang berlandaskan cinta kasih dan belas kasih untuk melayani dan menolong semua orang di masyarakat dan di dunia.

U--- singkatan untuk Understanding (pemahaman). Ini bukan hanya mengenai pemahaman terhadap mata pelajaran yang diberikan dalam kurikulum nasional tetapi juga penting untuk memahami diri sendiri.

C--- singkatan untuk Character (karakter). Guru mesti membentuk karekter yang baik pada

diri siswa. Seorang yang berkarakter adalah seorang yang memiliki kekuatan moral dan lima nilai kemanusiaan yaitu Kebenaran, Kebajikan, Kedamaian, Kasih sayang dan tanpa Kekerasan. Nilai-nilai kemanusiaan tersebut harus

terpadu                      dalam                       pembelajatran                        di                       kelas.

A--- singkatan untuk Action (tindakan). Para siswa kini belajar dengan giat






14


dan menuangkan pengetahuan yang dipelajarinya dalam ruang ujian dan keluar dengan kepala kosong. Pengetahuan yang mereka peroleh tidak diterapkan dalam tindakan. Pendidikan seperti itu tak berguna. Apapun yang dipelajari siswa mesti diterapkan dalam praktek. Model pembelajaran yang baik mesti membuat hubungan anatara yang dipelajari dan situasi nyata dalam hidup. Hal ini akan memungkinkan siswa mengaplikasikan pengetahuan ke dalam hidup mereka sendiri.

T--- singkatan untuk Thanking (berterima kasih). Siswa mesti belajar berterima kasih kepada orang-orang yang telah membantu mereka. Di atas segalanya adalah orang tua yang telah melahirkan dan mengasuh mereka. Siswaharus mengasihi dan menghormati orang tua mereka. Selanjutnya siswa harus berterima kasih kepada guru-guru, karena siswa memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan melalui guru-guru. Maka siswa mesti mengasihi dan menghormati guru. Demikian pula, siswa telah mendapatkan banyak hal dari masyarakat, dari bangsa, dari dunia, dan alam. Siswa mesti

selalu                  berterima                  kasih                  kepada                 semua                  hal.

I--- singkatan untuk Integrity (Integritas). Integritas adalah sifat jujur dan karakter menjunjung kejujuran (hornby 1968). Siswa mesti tumbuh menjadi sesorang yang memiliki integritas, yang bisa dipercaya unutk menjadi

pemimpin                             di                             bidangnya                             masing-masing.

O--- singkatan untuk Oneness (kesatuan). Pendidikan mesti membantu siswa melihat kesatuan dalam kemajemukan. Apakah kita memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda, warna kulit dan ras yang berbeda. Kita mesti

belajar             hidup            damai            dan            harmonis             dengan            alam.

N--- singkatan untuk Nobility (kemuliaan). Kemuliaan adalah sifat yang muncul karena memiliki karakter yang tinggi atau mulia. Kemuliaan tidak timbul dari lahir tetapi muncul dari pendidikan. Jadi, kemuliaan terdiri dari

semua                  nilai-nilai                   yang                  dijelaskan                  di                  atas.

Pada kesempatan mengisi seminar di UPI Bandung, Dr. Art-Ong Jumsai mengemukakan Model pembelajaran nilai-nilai kemanusiaan yang ia terapkan di lembaganya terbukti dapat membentuk dan mengembangkan tujuan pendidikan yang bukan hanya aspek kecerdasan intelektual, tetapi juga





15


kecerdasan emosional dan spiritual. Bahkan dalam implikasinya model pembelajaran nilai-nilai yang diterapkan oleh beliau menyebabkan proses transformasi bagi guru-guru dan anak-anak didiknya yang menjadikannya motivasi dan inspirasi untuk mempertahankan nilai-nilai dari pengaruh negatif di masyarakat.





























































16


BAB III

PENUTUP


A.  Kesimpulan

Ketentuan umum Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS point 2 menyebutkan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Selain itu, dalam Bab II Pasal 3 disebutkan pula bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Adanya kata-kata beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam tujuan pendidikan nasional di atas menandakan bahwa yang menjadi bahan dalam praktek pendidikan hendaknya berbasis kepada seperangkat nilai sebagai paduan antara ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Bahkan, tujuan pendidikan nasional yang utama menekankan pada aspek keimanan dan ketakwaan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa core value pembangunan karakter moral bangsa bersumber dari keyakinan beragama




















17


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'an dan Terjemahnya. (1989). Departemen Agama Republik Indonesia

Dinn Wahyudin dkk. Pengantar Pendidikan. (2006) Universitas Terbuka

Drs. Zulkabir dkk. Islam Konseptual dan Kontekstual. (1993). Itqan

Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd. Pendidikan Berbahasa Santun. (2006) PT Genesindo Dr. Art-Ong Jumsai Na-Ayudha, B.A., M.A., D.I.C. Model Pembelajaran Nilai-nilai

Kemanusian Terpadu. (2008). Yayasan Pendidikan Sathya Sai Indonesia

http://mitrawacanawrc.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=317

8/15/2008



http://www.jugaguru.com/vilb/40/tahun/2006/bulan/09/tanggal/13/id/88/

8/15/2008











































18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar