MAKALAH
PEMBELAJARAN IPS AUD
“Paradigma Pengajaran dan Pembelajaran IPS”
Dosen
pengampu: Dodi Harianto, S.Pd.I.,M.Pd.I
Kelompok 3:
LINDA
FITRIANI (TRA151761)
MILI
ASMANITA (TRA151763)
PIAUD 5B
JURUSAN
PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SULTHAN
THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis
panjatkan karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya lah serta diberikannya kesehatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas dengan mata kuliah Pembelajaran IPS AUD dengan judul
makalah “Paradigma Pembelajaran dan Pengajaran AUD” tepat pada waktunya.
Tak lupa pula shalawat beriringkan salam
penulis curahkan kepada baginda nabi besar Muhammad SAW yang telah mengeluarkan
manusia dari alam gelap gulita dalam kekafiran dan kebodohan menuju cahaya
kebenaran yang terang benderang yaitu agama islam.
Penulis sadari bahwa dalam penyusunan
makalah ini terdapat banyak kekurangan dan juga kesalahan baik dalam pemilihan
kata, cara penulisan maupun isi yang terkandung di dalamnya. untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk dapat memberikan masukan yang
mendukung dalam penyusunan makalah iniagar lebih sempurna dan menarik untuk
dipelajari.
Jambi,
07 Oktober 2017
penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................
i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang..........................................................................................
1
B. Rumusan
Masalah....................................................................................
1
C. Tujuan
Masalah.......................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ilmu Pengetahuan Sosial........................................................
2
B. Paradigma
Baru Pendidikan IPS..............................................................
3
C. Paradigma
Pendidikan IPS di Indonesia.................................................. 6
D. Tujuan
Pembelajaran IPS di Indonesia...................................................
13
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................ 19
B. Saran...................................................................................................... 19
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Paradigma baru tentang proses belajar
yang ideal adalah pembelajaran yang berpusat pada aktivitas siswa (activity
based), yang melibatkan keseluruhan aspek seperti: fisik dan emosional, multi
indrawi, dan bersifat fleksibel, gembira serta adanya kerjasama antar siswa
untuk mencapai tujuan belajar. Peran guru lebih bersifat sebagai fasilitator
dan pendamping, tidak sebagai orang yang serba tahu tentang materi
pembelajaran.
IPS merupakan salah satu mata pelajaran
yang diberikan mulai dari pengembangan
pendidikan IPS tidak hanya diarahkan pada pengembangan kompetensi yang
berkaitan dengan aspek intelektual saja. Keterampian sosial
menjadi salah satu faktor yang dikembangkan sebagai kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik
dalam keterampilan mencari, memilih, mengolah dan menggunakan informasi untuk memberdayakan diri agar menjadi warga negara Indonesia yang bertanggung
jawab.
B. Rumusan
Masalah
A. Apa
Pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial ?
B. Bagaimana
Paradigma Baru Pendidikan IPS ?
C. Bagaimana
Paradigma Pendidikan IPS di Indonesia ?
D. Apa
Tujuan Pembelajaran IPS di Indonesia ?
C. Tujuan
Penulisan
A. Mengetahui
Apa Pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial.
B. Mengetahui
Paradigma Baru Pendidikan IPS.
C. Mengetahui
Paradigma Pendidikan IPS di Indonesia.
D. Mengetahui
Tujuan Pembelajaran IPS di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
llmu Pengetahuan Sosial
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
merupakan penyederhanaan dari berbagai ilmu-ilmu sosial dengan tujuan utama
adalah membentuk warga negara yang baik. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan
dari National Council for Social Studies NCSS dalam Savage dan Armstrong (1996:
9), mendefinisikan social studies sebagai berikut: Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS) dapat diartikan sebagai kajian
terpadu dari ilmu-ilmu sosial dan untuk mengembangkan potensi
kewarganegaraan. Di dalam program persekolahan Ilmu Pengetahuan Sosial
dikoordinasikan sebagai bahan sistematis dan dibangun di atas beberapa disiplin
ilmu antara lain Antropologi, ilmu politik, Arkeologi, Ekonomi, Geografi,
Sejarah, Hukum, Filsafat Psikologi, Agama, Sosiologi, dan juga mencakup materi
yang sesuai dari humaniora, matematika, dan ilmu-ilmu alam.
Numan Somantri (2001: 44) menyatakan
bahwa Pendidikan IPS untuk tingkat sekolah itu sebagai suatu penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial, psikologi, filsafat,
ideologi negara, dan agama yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan
psikologis untuk tujuan pendidikan. Ilmu pengetahuan sosial merupakan
seperangkat fakta, peristiwa, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan
perilaku dan tindakan manusia untuk membangun dirinya, masyarakatnya,
bangsanya, lingkungannya berdasarkan pengalaman masa lalu yang dapat dimaknai
untuk masa kini, dan diantisipasi untuk masa yang akan datang.
Berdasar pada dua perspektif mengenai
pengertian IPS di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial
merupakan kajian ilmu-ilmu sosial secara terpadu yang disederhanakan untuk
pembelajaran di sekolah dan mempunyai tujuan agar peserta didik dapat
mengamalkan nilai-nilai (values) sehingga dapat menjadi warga negara yang baik
berdasarkan pengalaman masa lalu yang dapat dimaknai untuk masa kini, dan
diantisipasi untuk masa yang akan datang.
B. Paradigma
Baru Pendidikan IPS
Sudah seharusnya pola pembelajaran
pendidian IPS di ubah. Guru sebagai garda terdepan memiliki kesempatan luas
untuk membuka carawala dan khazanah penguasaan pendekatan dan metode untuk
mengubah pembelajaran IPS. Pembaharuan proses pendidikan IPS ini pada dasarnya
untuk membentuk manusia yang tercipta sebagai makhluk social yang hakiki.
Manusia sebagai makhluk sosial perlu memahami dan melaksanakan fungsi sosialnya. Pendidikan IPS diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari kehidupan masyarakat disekitarnya dan selanjutnya menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Titik berat studi sosial adalah perkembangan individu yang dapat memahami lingkungan sosialnya, serta manusia dengan kegiatannya dan interaksi antar mereka, dan anak didik agar menjadi anggota yang produktif dan dapat memberikan andilnya dalam masyarakat yang merdeka, mempunyai rasa tanggung jawab, tolong menolong sesamanya dan dapat mengembangkan nilai-nilai dan cita-cita masyarakat. Pendidikan IPS diarahkan agar peserta mengamati dan mengalami dalam hidup bermasyarakat sehinggan membantu peserta untuk memahami lebih mendalam kehidupan masyarakat sekitarnya. IPS diperlukan untuk memecahkan masalah/problema sosial yang teridentifikasi dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping memecahkan masalah sosial pendidikan IPS juga dimaksudkan untuk mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep dan ngeneralisasi yang berkaitan dengan IPS. Pendidikan IPS mensyaratkan mata kuliah Konsep Dasar IPS, hal ini dimaksudkan peserta sudah memahami konsep dasar IPS . Pendidikan IPS merupakan integrasi dari rumpun sosial dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dari ilmu-imu sosial. Materi IPS di sekolah lebih menitik beratkan materi sosiologi, ekonomi, geografi dan sejarah, walaupun demikian dalam batas batas tertentu tetap mengkaitkan dengan ilmu yang lain.
Manusia sebagai makhluk sosial perlu memahami dan melaksanakan fungsi sosialnya. Pendidikan IPS diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari kehidupan masyarakat disekitarnya dan selanjutnya menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Titik berat studi sosial adalah perkembangan individu yang dapat memahami lingkungan sosialnya, serta manusia dengan kegiatannya dan interaksi antar mereka, dan anak didik agar menjadi anggota yang produktif dan dapat memberikan andilnya dalam masyarakat yang merdeka, mempunyai rasa tanggung jawab, tolong menolong sesamanya dan dapat mengembangkan nilai-nilai dan cita-cita masyarakat. Pendidikan IPS diarahkan agar peserta mengamati dan mengalami dalam hidup bermasyarakat sehinggan membantu peserta untuk memahami lebih mendalam kehidupan masyarakat sekitarnya. IPS diperlukan untuk memecahkan masalah/problema sosial yang teridentifikasi dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping memecahkan masalah sosial pendidikan IPS juga dimaksudkan untuk mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep dan ngeneralisasi yang berkaitan dengan IPS. Pendidikan IPS mensyaratkan mata kuliah Konsep Dasar IPS, hal ini dimaksudkan peserta sudah memahami konsep dasar IPS . Pendidikan IPS merupakan integrasi dari rumpun sosial dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dari ilmu-imu sosial. Materi IPS di sekolah lebih menitik beratkan materi sosiologi, ekonomi, geografi dan sejarah, walaupun demikian dalam batas batas tertentu tetap mengkaitkan dengan ilmu yang lain.
Model IPS Terpadu ada tiga model
pembelajaran IPS terpadu. Pertama, model integrasi berdasarkan topik. Caranya
dengan memilih atau menetapkan topik tertentu, dan topik tersebut ditinjau dari
berbagai disiplin ilmu yang tercakup dalam IPS, misalnya topik flu burung.
Persebaran wabah flu burung dan karakteristik fisis-geografis daerah terjangkit
dikaji melalui disiplin Ilmu Geografi, dampaknya terhadap kegiatan perekonomian
masyarakat ditinjau dengan disiplin Ilmu Ekonomi. Analisis proses awal masuknya
flu burung di Indonesia dapat dikaji dengan disiplin Ilmu Sejarah, sedangkan
bagaimana reaksi masyarakat yang mengahadapi wabah flu burung dan bagaimana
partisipasi yang diberikan dalam upaya penanggulangannya dapat dikaji dengan
disiplin Ilmu Sosiologi. Kedua, model integrasi berdasarkan potensi utama.
Dipilih tema yang didasarkan pada potensi utama yang ada di wilayah setempat.
Misalnya Ungaran sebagai kawasan industri. Faktor alam apa yang menunjang
pengembangan industri di Ungaran dianalisis dengan disiplin Ilmu Geografi.
Bagaimana dukungan/kebijakan pemerintah daerah dikaji dengan Ilmu Politik,
seberapa besar ketersediaan tenaga kerja dan efek perekonomian yang muncul
dilihat dengan kacamata Ekonomi. Sedangkan bagaimana kemungkinan dampaknya
terhadap kehidupan sosial-budaya dianalisis dengan disiplin Ilmu
Sosiologi-Antropologi. Ketiga, model integrasi berdasarkan masalah. Banyak
sekali dijumpai permasalahan lingkungan dan sosial di sekitar anak. Jika
permasalahan tersebut diangkat menjadi tema dalam pembelajaran di kelas sangat
menarik dan meningkatkan kepedulian siswa terhadap masalah tersebut, misalnya
pornografi. Apa faktor sosial-budaya yang mendorong maraknya pornografi tentu
dapat dikaji dengan bantuan disiplin Ilmu Sosiologi-Antropologi. Sampai di mana
saja persebaran masalah tersebut, kapan masalah tersebut mulai muncul dan
bagaimana perkembangannya, apa dampaknya terhadap kehidupan sosial dan ekonomi,
dan apa kebijakan yang telah dilakukan pemerintah ? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut dapat dijawab dengan menggunakan disiplin ilmu sosial yang sesuai.
Pembelajaran IPS Terpadu merupakan
gabungan dari berbagai disiplin ilmu sosial. Di sekolah, guru yang tersedia
umumnya merupakan guru dengan disiplin ilmu yang terpisah-pisah. Hal ini
tentunya mengundang masalah bagi guru untuk beradaptasi dalam pengintegrasian
disiplin ilmu sosial tersebut. Solusi yang dapat diberikan adalah mengajar
dengan Team Teaching yaitu dua-tiga orang guru mengajar secara bersama-sama di
dalam kelas. Setiap guru memiliki tugas sesuai dengan keahlian dan kesepakatan
team.
Pembelajaran IPS Terpadu bagi siswa memberikan peluang untuk pengembangan kreativitasnya. Model ini menekankan pada pengembangan kemampuan analitik, asosiatif serta eksploratif dan elaboratif. Dengan mengupas permasalahan sosial yang ada di lingkungan siswa akan mempermudah dan memotivasi untuk mengenal, menerima, menyerap dan memahami keterkaitan konsep, pengetahuan, nilai atau tindakan yang dikehendaki oleh kurikulum.
Pembelajaran IPS Terpadu bagi siswa memberikan peluang untuk pengembangan kreativitasnya. Model ini menekankan pada pengembangan kemampuan analitik, asosiatif serta eksploratif dan elaboratif. Dengan mengupas permasalahan sosial yang ada di lingkungan siswa akan mempermudah dan memotivasi untuk mengenal, menerima, menyerap dan memahami keterkaitan konsep, pengetahuan, nilai atau tindakan yang dikehendaki oleh kurikulum.
Pardigma Sosial Studi Dalam IPS Terpadu
tersurat adanya perubahan paradigma dari Ilmu Sosial (Social Sciences) menjadi
Studi Sosial (Social Study). Ilmu-ilmu Sosial (Sosiologi, Antropogi, Ekonomi,
Politik, dll) lebih menekankan konsep dan teori yang abstrak dan rumit sehingga
kemampuan anak di jenjang pendidikan dasar belum cukup untuk menyerap dan
memahaminya. Sedangkan studi sosial merupakan bidang pelajaran mengenai
kehidupan manusia dalam masyarakat. Studi sosial lebih bersifat praktis, tidak
menyajikan materi yang terlalu abstrak dan teoritis tetapi lebih bersifat
terapan. Studi sosial lebih menitikberatkan pada bahan-bahan pelajaran yang
langsung menyangkut kepentingan siswa dalam rangka proses belajar mengajar guna
mencapai tujuan-tujuan pendidikan
Guru harus bisa mengikuti perubahan paradigma ini, sebab perubahan ini memberikan ruang untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengajar. Guru tidak harus tunduk pada urutan KD dalam kurikulum. Ia dapat menetapkan topik atau permasalahan tertentu dan mengambil KD-KD yang dibutuhkan untuk disajikan di dalam pendekatan pembelajaran kooperatif. Guru dapat mengambil topik permasalahan yang sedang aktual misalnya naiknya harga-harga, golput, sampah, pornografi dan sebagainya. Upaya yang harus dilakukan guru IPS memang tidak mudah. Tetapi percayalah, hal ini bukan disebabkan oleh kurangnya kemampuan guru, melainkan karena masih ragu mencoba dan belum terbiasa melakukannya.
Guru harus bisa mengikuti perubahan paradigma ini, sebab perubahan ini memberikan ruang untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengajar. Guru tidak harus tunduk pada urutan KD dalam kurikulum. Ia dapat menetapkan topik atau permasalahan tertentu dan mengambil KD-KD yang dibutuhkan untuk disajikan di dalam pendekatan pembelajaran kooperatif. Guru dapat mengambil topik permasalahan yang sedang aktual misalnya naiknya harga-harga, golput, sampah, pornografi dan sebagainya. Upaya yang harus dilakukan guru IPS memang tidak mudah. Tetapi percayalah, hal ini bukan disebabkan oleh kurangnya kemampuan guru, melainkan karena masih ragu mencoba dan belum terbiasa melakukannya.
C. Paradigma
Pendidikan IPS di Indonesia
Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS
di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran “social studies” di Amerika
Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki pengalaman panjang dan reputasi
akademis yang signifikan dalam bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam
perkembangan pemikiran mengenai bidang itu seperti dapat disimak dari berbagai
karya akademis yang antara lain dipublikasikan oleh National Council for the
Social Studies (NCSS). Untuk menelusuri perkembangan pemikiran atau konsep
pendidikan IPS di Indonesia secara historis epistemologis terasa sangat susah
karena dua alasan. Pertama, di Indonesia belum ada lembaga professional bidang
pendidikan IPS setua dan sekuat pengaruh NCSS atau SSEC. Lembaga serupa yang
dimiliki Indonesia, yakni HISPIPSI (Himpunan Sarjana pendidikan IPS Indonesia)
usianya masih sangat muda dan produktivitas akademisnya masih belum optimal,
karena masih terbatas pada pertemuan tahunan dan komunikasi antar anggota masih
insidental. Kedua, perkembangan kurikulum dan pembelajaran IPS sebagai ontologi
ilmu pendidikan (disiplin) IPS sampai saat ini sangat tergantung pada pemikiran
individual dan atau kelompok pakar yang ditugasi secara insidental untuk
mengembangkan perangkat kurikulum IPS melalui Pusat pengembangan Kurikulum dan
Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud (Puskur). Pengaruh akademis dari komunitas
ilmiah bidang ini terhadap pengembangan IPS tersebut sangatlah terbatas,
sebatas yang tersalur melalui anggotanya yang kebetulan dilibatkan dalam
berbagai kegiatan tersebut. Jadi, sangat jauh berbeda dengan peranan dan
kontribusi Social Studies Curriculum Task Force-nya NCSS, atau SSEC di Amerika
Serikat.
Oleh karena itu, perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS di Indonesia akan ditelusuri dari alur perubahan kurikulum IPS dalam dunia persekolahan, dikaitkan dengan beberapa konten pertemuan ilmiah dan penelitian yang relevan dalam bidang itu.
Oleh karena itu, perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS di Indonesia akan ditelusuri dari alur perubahan kurikulum IPS dalam dunia persekolahan, dikaitkan dengan beberapa konten pertemuan ilmiah dan penelitian yang relevan dalam bidang itu.
Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial),
sejauh yang dapat ditelusuri, untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar
Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo. Menurut
Laporan Seminar tersebut ada tiga istilah yang muncul dan digunakan secara
bertukar pakai yakni “pengetahuan social, studi social, dan Ilmu Pengetahuan
Sosial” yang diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah social yang dipilih
dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dan bertujuan
agar masalah-masalah social itu dapat dipahami siswa. Dengan demikian, para
siswa akan dapat menghadapi dan memecahkan masalah sosila sehari-hari. Pada
saat itu, konsep IPS tersebut belum masuk ke dalam kurikulum sekolah, tetapi
baru dalam wacana akademis yang muncul dalam seminar tersebut. Kemunculan
istilah tersebut bersamaan dengan munculnya istilah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
dalam wacana akademis pendidikan Sains. Pengertian IPS yang disepakati dalam
seminar tersebut dapat dianggap sebagai pilar pertama dalam perkembangan
pemikiran tentang pendidikan IPS. Berbeda dengan pemunculan pengertian social
studies dari Edgar Bruce Wesley yang segera dapat respon akademis secara meluas
dan melahirkan kontroversi akademik, pemunsulan pengertian IPS dengan mudah
dapat diterima dengan sedikit komentar.
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk
ke dalam dunia persekolahan pada tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek
Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Hal ini terjadi karena,
barangkali kebetulan beberapa pakar yang menjadi pemikir dalam Seminar Civic
Education di Tawangmangu itu, seperti Achmad Sanusi, Noeman Soemantri, Achmad
Kosasih Djahiri, dan Dedih Suwardi berasal dari IKIP Bandung, dan pada
pengembangan Kurikulum PPSP FKIP Bandung berperan sebagai anggota tim
pemnegmbang kurikulum tersebut. Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan
istilah “Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial” sebagai mata pelajaran
social terpadu. Penggunaan garis miring nampaknya mengisyaratkan adanya
pengaruh dari konsep pengajaran social yang awalaupun tidak diberi label IPS,
telah diadopsi dalam Kurikulum SD tahun 1968. Dalam Kurikulum tersebut
digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang di dalamnya tercakup sejarah
Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan
Kewargaan Negara. Oleh karena itu, dalam kurikulum SD PPSP tersebut, konsep IPS
diartikan sama dengan Pendidikan Kewargaan Negara. Penggunaan istilah Studi
Sosial nampaknya dipengaruhi oelh pemikiran atau penafsiran Achmad Sanusi yang
pada tahun 1972 menerbitkan sebuah manuskrip berjudul “Studi Sosial: Pengantar
Menuju Sekolah Komprehensif”. Sedangkan dalam Kurikulum Sekolah Menengah 4
tahun, digunakan tiga istilah yakni (1) Studi Sosial sebagai mata pelajaran
inti untuk semua siswa dan sebagai bendera untuk kelompok mata pelajaran social
yang terdiri atas geografi, sejarah, dan ekonomi sebagai amat pelajaran major
pada jurusan IPS; (2) Pendidikan Kewargaan Negara sebagai mata pelajaran inti
bagi semua jurusan; dan (3) Civics dan Hukum sebagai mata pelajaran major pada
jurusan IPS.
Kurikulum PPSP tersebut dapat dianggap sebagai pilar kedua dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS, yakni masuknya kesepakatan akademis tentang IPS ke dalam kurikulum sekolah. Pada tahap ini, konsep pendidikan IPS diwujudkan dalam tiga bentuk yakni, (1) pendidikan IPS terintegrasi dengan nama Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial; (2) pendidikan IPS terpisah, dimana istilah IPS hanya digunakan sebagai patung untuk mata pelajaran geografi, sejarah dan ekonomi; dan (3) pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus.
Kurikulum PPSP tersebut dapat dianggap sebagai pilar kedua dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS, yakni masuknya kesepakatan akademis tentang IPS ke dalam kurikulum sekolah. Pada tahap ini, konsep pendidikan IPS diwujudkan dalam tiga bentuk yakni, (1) pendidikan IPS terintegrasi dengan nama Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial; (2) pendidikan IPS terpisah, dimana istilah IPS hanya digunakan sebagai patung untuk mata pelajaran geografi, sejarah dan ekonomi; dan (3) pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus.
Konsep pendidikan IPS tersebut kemudian
memberi inspirasi terhadap Kurikulum 1975, yang memang dalam banyak hal
mengadopsi inovasi yang dicoba melalui Kurikulum PPSP. Di dalam Kurikulum 1975
pendidikan IPS menampilkan empat profil, yakni: (1) Pendidikan Moral Pancasila
menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk pendidikan IPS
khusus yang mewadai tradisi citizenship traansmission; (2) Pendidikan IPS
terpadu untuk Sekolah Dasar; (3) Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang
menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungimata pelajaran Geografi,
sejarah, dan ekonomi koperasi; dan (4) Pendidikan IPS terpisah-pisah yang
mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah
dan geografi untuk SPG (Dep. P dan K,1975a; 1975b, 1975c; dan 1976). Konsep
pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam kurikulum 1984, yang
memang secara konseptual merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975.
Penyempurnaan yang dilakukan khususnya dalam aktualisasi materi yang
disesuaikan dengan perkembangan baru dalam masing-masing disiplin, seperti
masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) sebagai materi pokok
Pendidikan Moral Pancasila. Sedang konsep pendidikan IPS itu sendiri tidak
mengalami perubahan yng mendasar.
Dengan berlakunya Undang-Undang No.
2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam wacana pendidikan IPS muncul
dua bahan kajian kurikuler pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan.
Kemudian ketika ditetapkannya Kurikulum 1994 mnggantikan kurikulum 1984, kedua
bahan tersebut dilembagakan menjadi satu pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn). Secara konseptual mata pelajaran ini masih tetap
merupakan bidang pendidikan IPS yang khusus mewadai tradisi citizenship
transmission dengan muatan utama butir-butir nilai Pancasila yang
diorganisasikan dengan menggunakan pendekatan spiral of concept development ala
Taba (Taba:1967) dan expanding environment approach” ala Hanna (Dufty; 1970)
dengan bertitik tolak dari masing-masing sila Pancasila.
Di dalam Kuikulum 1994 mata pelajaran PPKn merupakan pelajaran social khusus yang wajib diikuti oleh semua siswa setiap jenjang pendidikan (SD, SLTP, SMU). Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam: pertama, pendidikan IPS terpadu di SD kelas III s/d kelas VI; kedua, pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi dan ketiga, pendidikan IPS terpisah-pisah yang mirip dengan tradisi in social studies taught as social science menurut Barr dan kawan-kawan (1978). Di SMU ini bidang pendidikan IPS terpisah-pisah terdiri atas mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I dan II; Ekonomi dan Geografi di kelas I dan II; Sosiologi di kelas II; Sejarah Budaya di kelas III Program Bahasa; Ekonomi, Sosiologi, Tata Negara, Dan Antropologi di kelas III Program IPS. Dilihat dari tujuannya, setiap mata pelajaran social memiliki tujuan yang bervariasi. Mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum bertujuan untuk”….menanamkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat masa lampau hingga masa kini, menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia, dan memperluas wawasan hubungan masyarakat antar bangsa di dunia” (Depdikbud, 1993: 23-24). Dimensi tujuan tersebut pada dasarnya mengandung esensi pendidikan kewarganegaraan atau tradisi “citizenship transmission” (Barr, dan kawan-kawan: 1978). Mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk memberikan pengetahuan konsep-konsep dan teori sederhana dan menerapkannya dalam pemecahan masalah-masalah ekonomi yang dihadapinya secara kritis dan objektif (Depdikbud, 1993:29). Sedang untuk program IPS mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk “….memberikan bekal kepada siswa mengenal beberapa konsep dan teori ekonomi sederhana untuk menjelaskan fakta, peristiwa, dan masalah ekonomi yang dihadapi” (Depdikbud, 1993: 29). Dari rumusan tujuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa tujuan pendidikan Ekonomi di SMU baik untuk program umum maupun untuk program IPS mengisyaratkan diterapkannya tradisi social studies taught as social science ( Barr, dan kawan-kawan: 1978).
Tradisi ini tampaknya diterapkan juga dalam mata pelajaran Sosiologi, Geografi, Tata Negara, Sejarah budaya dan Antropologi sebagai mana dapat dikaji dari masing-masing tujuannya. Mata palajaran Soaiologi memiliki tujuan “…untuk memberikan kemampuan memahami secara kritis berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari yang muncul seiring dengan perubahan masyarakat dan budaya, menanamkan kesadaran perlunya sosial budaya sesuai dengan kedudukan, peran, norma, dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat” (Depdikbud, 1993: 30). Sementara itu mata pelajaran kemampuan dan sikap rasional yang bertanggung jawab dalam menghadapi gejala alam dan kehidupan di muka bumi serta permasalahannya yang timbul akibat interaksi antara manusia dengan lingkungannya” (Depdikbud, 1993: 30). Sedangkan mata pelajaran Tata negara menggariskan tujuan”…untuk meningkatkan kemampuan agar siswa memahami penyelenggaraan negara sesuai dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan negara sesuai dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan, sistem pemerintahan Negara RI maupun negara lain” (Depdikbud, 1993: 31).
Di dalam Kuikulum 1994 mata pelajaran PPKn merupakan pelajaran social khusus yang wajib diikuti oleh semua siswa setiap jenjang pendidikan (SD, SLTP, SMU). Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam: pertama, pendidikan IPS terpadu di SD kelas III s/d kelas VI; kedua, pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi dan ketiga, pendidikan IPS terpisah-pisah yang mirip dengan tradisi in social studies taught as social science menurut Barr dan kawan-kawan (1978). Di SMU ini bidang pendidikan IPS terpisah-pisah terdiri atas mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I dan II; Ekonomi dan Geografi di kelas I dan II; Sosiologi di kelas II; Sejarah Budaya di kelas III Program Bahasa; Ekonomi, Sosiologi, Tata Negara, Dan Antropologi di kelas III Program IPS. Dilihat dari tujuannya, setiap mata pelajaran social memiliki tujuan yang bervariasi. Mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum bertujuan untuk”….menanamkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat masa lampau hingga masa kini, menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia, dan memperluas wawasan hubungan masyarakat antar bangsa di dunia” (Depdikbud, 1993: 23-24). Dimensi tujuan tersebut pada dasarnya mengandung esensi pendidikan kewarganegaraan atau tradisi “citizenship transmission” (Barr, dan kawan-kawan: 1978). Mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk memberikan pengetahuan konsep-konsep dan teori sederhana dan menerapkannya dalam pemecahan masalah-masalah ekonomi yang dihadapinya secara kritis dan objektif (Depdikbud, 1993:29). Sedang untuk program IPS mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk “….memberikan bekal kepada siswa mengenal beberapa konsep dan teori ekonomi sederhana untuk menjelaskan fakta, peristiwa, dan masalah ekonomi yang dihadapi” (Depdikbud, 1993: 29). Dari rumusan tujuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa tujuan pendidikan Ekonomi di SMU baik untuk program umum maupun untuk program IPS mengisyaratkan diterapkannya tradisi social studies taught as social science ( Barr, dan kawan-kawan: 1978).
Tradisi ini tampaknya diterapkan juga dalam mata pelajaran Sosiologi, Geografi, Tata Negara, Sejarah budaya dan Antropologi sebagai mana dapat dikaji dari masing-masing tujuannya. Mata palajaran Soaiologi memiliki tujuan “…untuk memberikan kemampuan memahami secara kritis berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari yang muncul seiring dengan perubahan masyarakat dan budaya, menanamkan kesadaran perlunya sosial budaya sesuai dengan kedudukan, peran, norma, dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat” (Depdikbud, 1993: 30). Sementara itu mata pelajaran kemampuan dan sikap rasional yang bertanggung jawab dalam menghadapi gejala alam dan kehidupan di muka bumi serta permasalahannya yang timbul akibat interaksi antara manusia dengan lingkungannya” (Depdikbud, 1993: 30). Sedangkan mata pelajaran Tata negara menggariskan tujuan”…untuk meningkatkan kemampuan agar siswa memahami penyelenggaraan negara sesuai dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan negara sesuai dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan, sistem pemerintahan Negara RI maupun negara lain” (Depdikbud, 1993: 31).
Hal yang juga tampak sejalan terdapat
dalam rumusan tujuan mata pelajaran Sejarah Budaya yang menggariskan tujuannya
untuk menanamkan pengertian adanya keterkaitan perkembangan budaya masyarakat
pada masa lampau, masa kini dan masa mendatang sehingga siswa menyadari dan
menghargai hasil dan nilai budaya pada masa lampau dan masa kini (Depdikbud,
1993: 31). Demikian juga dalam tujuan mata pelajaran Antropologi yang dengan
tegas diorentasikan pada upaya untuk memberikan pengetahuan mengenai proses
terjadinya kebudayaan, pemanfaatan dan perwujudannya dalam kehidupan
sehari-hari; menanamkan kesadaran perlunya menghargai nilai-nilai budaya suatu
bangsa, terutama bangsa sendiri, dan pada akhirnya dimaksudkan juga untuk
menanamkan kesadaran tentang peranan kebudayaan dalam perkembangan dan
pembangunan masyarakat serta dampak perubahan kebudayaan terhadap kehidupan
masyarakat (Depdikbud, 1993: 33).
Bila disimak dari perkembangan pemikiran
pendidikan IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an
ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni:
pertama, pendidikan IPS di Indonesia yang diajarkan dalam tradisi “citizenship
transmission” dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan
dalam tradisi social science dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU,
yang terkonfederasi di SLTP, dan yang terintegrasi di SD.
Dalam pembahasannya tentang “Perspektif Pendidikan Ilmu (Pengetahuan) Sosial”, Achmad Sanusi (1998) dalam konteks pembahasannya yang sangat mendasar mengenai pendidikan IPS di IKIP, menyinggung sekidit tentang pengajaran IPS di sekolah. Sanusi (1998: 222-227) melihat pengajaran IPS di sekolah cenderung menitikberatkan pada penguasaan hafalan; proses pembelajaran yang terpusat pada guru; terjadinya banyak miskonsepsi; situasi kesal yang membosankan siswa; ketidaklebihunggulan guru dari sumber lain; ketidakmutahiran sumber belajar yang ada; sistem ujian yang sentralistik; pencapaian tujuan kognitif yang “mengelit-bawang”; rendahnya rasa percaya diri siswa sebagai akibat dari amat lunaknya isi pelajaran, kontradiksi materi dengan kenyataan,dominannya latihan berfikir taraf rendah, guru yang tidak tangguh, persepsi negatif dan prasangka buruk dari masyarakat terhadap kedudukan dan peran ilmu sosial dalam pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, Sanusi (1998) merekomendasikan perlunya reorientasi pengembangan yang mencakup peningkatan mutu SDM dalam hal ini guru agar lebih mampu mengembangkan kecerdasan siswa lebih optimal melalui variasi interaksi dan pemanfaatan media dan sumber belajar yang lebih menantang. Bersamaan itu perlu diperlukan upaya peningkatan dukungan sarana dan prasarana serta insentif yang fair. Dalam dimensi konseptual, Sanusi (1998: 242-247) menyarankan perlunya batasab yang jelas mengenai tujuan dan konten pendidikan ilmu sosial untuk berbagai jenjang pendidikan, termasuk di dalamnya pola pemilihan dan pengoranisasian tema-tema pembelajaran yang dinilai lebih esensial dan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan dalam masyarakat.
Dalam pembahasannya tentang “Perspektif Pendidikan Ilmu (Pengetahuan) Sosial”, Achmad Sanusi (1998) dalam konteks pembahasannya yang sangat mendasar mengenai pendidikan IPS di IKIP, menyinggung sekidit tentang pengajaran IPS di sekolah. Sanusi (1998: 222-227) melihat pengajaran IPS di sekolah cenderung menitikberatkan pada penguasaan hafalan; proses pembelajaran yang terpusat pada guru; terjadinya banyak miskonsepsi; situasi kesal yang membosankan siswa; ketidaklebihunggulan guru dari sumber lain; ketidakmutahiran sumber belajar yang ada; sistem ujian yang sentralistik; pencapaian tujuan kognitif yang “mengelit-bawang”; rendahnya rasa percaya diri siswa sebagai akibat dari amat lunaknya isi pelajaran, kontradiksi materi dengan kenyataan,dominannya latihan berfikir taraf rendah, guru yang tidak tangguh, persepsi negatif dan prasangka buruk dari masyarakat terhadap kedudukan dan peran ilmu sosial dalam pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, Sanusi (1998) merekomendasikan perlunya reorientasi pengembangan yang mencakup peningkatan mutu SDM dalam hal ini guru agar lebih mampu mengembangkan kecerdasan siswa lebih optimal melalui variasi interaksi dan pemanfaatan media dan sumber belajar yang lebih menantang. Bersamaan itu perlu diperlukan upaya peningkatan dukungan sarana dan prasarana serta insentif yang fair. Dalam dimensi konseptual, Sanusi (1998: 242-247) menyarankan perlunya batasab yang jelas mengenai tujuan dan konten pendidikan ilmu sosial untuk berbagai jenjang pendidikan, termasuk di dalamnya pola pemilihan dan pengoranisasian tema-tema pembelajaran yang dinilai lebih esensial dan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan dalam masyarakat.
Dilihat dari perkembangan permikiran
yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua
arah, yakni : Pertama, PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan
penyederhaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara
psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan pesekolahan; dan kedua, PDIPS untuk
perguruan tinggi pendidikan guru IPS yag pada daarnya merupakan penyeleksian
dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari limu-ilmu
sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan
profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS. PIPS untuk
dunia persekolahan terpilah menjadi dua versi atau tradisi akademik pedagogis
yakni : pertama, PIPS dalam tradisi “citizenship transmission” dalam bentuk
mata pelajran pendidikan Pancasiala dan Kewarganegaraan dan Sejarah Indonesia;
dan kedua PIPS dalam tradisi “social science” dalam bentuk mata pelajaran IPS
Terpadu untuk SD, dan mata pelajaran IPS Terkonfederasi untuk SLTP, dan IPS
terpisah-pisah untuk SMU. Kedua tradisi PIPS tersebut terikat oleh suatu visi
pengembangan manusia indonesia seutuhnya sebagaimana digariskan dalam GBHN dan
UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam konteks perkembangan pendidikan “social studies” di Amerika atau “Pendidikan IPS” di Indonesia konsep dan praksis pendidikan demokrasi yang dikemas sebagai “citizenship education” atau “Pendidikan Kewarganegaraan” berkedudukan sebagai salah satu dimensi dari tujuan, konten dan proses social studies atau “pendidikan IPS”, atau dapat juga dikatakan bahwa pendidikan demokrasi merupakan salah satu subsistem dalam sistem pembelajaran “social studies” atau “Pendidikan IPS”. Walaupun demikian, subsistem pendidikan demokrasi ini sejak awal perkembangannya, seperti di Amerika sudah menunjukkan keunikan dan kemandiriannya sebagai program pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan warga negara yang cerdas dan baik. Subsistem ini, sejalan dengan perkembangan konsep dan praksisi demokrasi, terus berkembang sebagai suatu bidang kajian dan program pendidikan yang dikenal dengan citizenship education atau civic education, atau unuk Indonesia dikenal dalam label yang berubah – ubah mulai dari Civics, Kewargaan Negara, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewargenagaraan, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Dalam konteks perkembangan pendidikan “social studies” di Amerika atau “Pendidikan IPS” di Indonesia konsep dan praksis pendidikan demokrasi yang dikemas sebagai “citizenship education” atau “Pendidikan Kewarganegaraan” berkedudukan sebagai salah satu dimensi dari tujuan, konten dan proses social studies atau “pendidikan IPS”, atau dapat juga dikatakan bahwa pendidikan demokrasi merupakan salah satu subsistem dalam sistem pembelajaran “social studies” atau “Pendidikan IPS”. Walaupun demikian, subsistem pendidikan demokrasi ini sejak awal perkembangannya, seperti di Amerika sudah menunjukkan keunikan dan kemandiriannya sebagai program pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan warga negara yang cerdas dan baik. Subsistem ini, sejalan dengan perkembangan konsep dan praksisi demokrasi, terus berkembang sebagai suatu bidang kajian dan program pendidikan yang dikenal dengan citizenship education atau civic education, atau unuk Indonesia dikenal dalam label yang berubah – ubah mulai dari Civics, Kewargaan Negara, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewargenagaraan, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
D. Tujuan Pembelajaran IPS di Indonesia
IPS sebagai sebuah bidang keilmuwan yang dinamis,
karena mempelajari tentang keadaan masyarakat yang cepat perkembangannya, tidak
bisa terlepas dari perkembangan. Pengembangan kurikulum IPS merupakan jawaban
terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat yang akan mempelajarinya. Perkembangan
IPS di Indonesia dilatar belakangi oleh beberapa hal
1. Pengalaman hidup masa lampau dengan situasi sosialnya yang labil,
memerlukan masa depan yang lebih mantap dan utuh sebagai suatu bangsa yang
bulat.
2. Laju perkembangan pendidikan, teknologi, dan budaya Indonesia memerlukan
kebijakan pendidikan dan pengajaran yang seirama dengan laju perkembangan
tersebut.
3. Agar output pendidikan persekolahan benar-benar lebih relevan dengan
tuntutan masyarakat yang ia akan menjadi bagiannya dan materi yang dimuat dalam
kurikulum atau dipelajari peserta didik dapat bermanfaat. Segi lain yang
menyebabkan dikembangkannya kurikulum IPS sebagai mata pelajaran wajib bagi
setiap anak didik adalah menyiapkan mereka kelak apabila terjun ke dalam
kehidupan masyarakat.
Sejak diberlakukan kurikulum tahun 1964
sampai kurikulum 1968, program pengajaran ilmu-ilmu sosial masih menggunakan
cara-cara (pendekatan) tradisional. Ilmu sosial seperti sejarah, geografi (ilmu
bumi) dan ekonomi masih disajikan secara terpisah. Sejumlah ahli menyadari
bahwa sebenarnya sistem tersebut telah usang dan tidak relevan. Terkait dengan
pengembangan kurikulum IPS, seorang ahli pendidikan, guru besar pada IKIP
Malang, Prof. Dr. Soepartinah Pakasi, dapat dianggap sebagai penganut social
studies yang pertama di Indonesia. Pada tahun 1968 beliau menerapkan pola
pengajaran social studies pada sekolah percobaan IKIP Malang yang dipimpinnya.
Dalam penerapannya, guru-guru social studies di sekolah-sekolah tersebut di
samping diberi pedoman pelatihan keterampilan secara khusus juga didampingi
oleh sebuah regu dosen jurusan sejarah, geografi dan ekonomi. Dalam lingkup
nasional, ide-ide untuk menerapkan pengajaran social studies mulai ramai
diperbincangkan sekitar tahun 1971/1972.
Setiap usaha pendidikan senantiasa
memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapai. Berdasarkan tujuan pendidikan
yang jelas, tegas, terarah, barulah pendidik dapat menentukan usaha apa yang
akan dilakukannya dan bahan pelajaran apa yang sebaiknya diberikan kepada anak
didiknya. Demikian juga di dalam negara kita telah dirumuskan tujuan pendidikan
nasional dirumuskan berdasarkan pada falsafah negara Pancasila dan UUD 1945,
seperti digariskan dalam GBHN. Berdasarkan pada falsafah negara tersebut, maka
telah dirumuskan tujuan pendidikan nasional menurut Undang-undang Nomer 20
Tahun 2003 adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab sesuai ketentuan yang termaksud dalam UUD
1945.
Pembahasan tentang pendidikan IPS tidak
bisa terlepas dari interaksi fungsional perkembangan masyarakat Indonesia
dengan sistem dan praksis pendidikannya. Yang dimaksud dengan interaksi fungsional
di sini adalah bagaimana perkembangan masyarakat mengimplikasi terhadap tubuh
pengetahuan IPS, dan sebaliknya bagaimana tubuh pengetahuan pendidikan IPS
turut memfasilitasi pengembangan aktor sosial dan warga negara yang cerdas dan
baik, yang pada gilirannya dapat memberikan konstribusi yang bermakna terhadap
perkembangan masyarakat Indonesia. Dalam mengkaji perubahan dalam masyarakat,
perlu diawali dengan postulat yang telah diterima secara umum, bahwa dalam
kehidupan ini perubahan merupakan suatu keniscayaan karena tidak ada yang tetap
kecuali perubahan. Untuk memahami semua gejala krisis dalam konteks kehidupan
global yang sistemik diperlukan cara pandang yang utuh dan menyeluruh yang oleh
Capra dalam dalam Udin S. Winataputra3) disebut sebagai cara memandang situasi
“…dalam konteks evolusi budaya manusia”. Dengan merujuk pada teori perubahan
“tantangan dan tanggapan” (challenge and response) dari Toynbee, yang pada
dasarnya meneorikan “Tantangan dari lingkungan alam dan sosial memancing
tanggapan kreatif dari suatu masyarakat, atau kelompok sosial, yang mendorong
masyarakat itu untuk memasuki proses peradaban, Capra dalam Udin S.
Winataputra3) mengemukakan adanya “Irama berulang dalam pertumbuhan budaya”,
yang pada dasarnya merupakan siklus interaktif antara dua kekuatan yang saling
mempengaruhi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
merupakan penyederhanaan dari berbagai ilmu-ilmu sosial dengan tujuan utama
adalah membentuk warga negara yang baik
Paradigma Baru Pendidikan IPSSudah
seharusnya pola pembelajaran pendidian IPS di ubah. Guru sebagai garda terdepan
memiliki kesempatan luas untuk membuka carawala dan khazanah penguasaan
pendekatan dan metode untuk mengubah pembelajaran IPS
Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS
di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran “social studies” di Amerika
Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki pengalaman panjang dan reputasi
akademis yang signifikan dalam bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam
perkembangan pemikiran mengenai bidang itu seperti dapat disimak dari berbagai
karya akademis yang antara lain dipublikasikan oleh National Council for the
Social Studies (NCSS).
IPS sebagai sebuah bidang keilmuwan yang
dinamis, karena mempelajari tentang keadaan masyarakat yang cepat
perkembangannya, tidak bisa terlepas dari perkembangan
B. Saran
Pemakalah menyadari bahwa makalah yang
telah kami buat jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kritik dan saran kami
perlukan guna meningkatkan dan membangun keterampilan dalam membuat makalah
yang sebaik-baiknya`
DAFTAR PUSTAKA
Ischak,
dkk. 2005. Pendidikan IPS di SD.
Jakarta : Universitas Terbuka
Udin
S. Winataputra. 2009. Materi dan
Pembelajaran IPS SD. Jakarta: Universitas Terbuka
Muhammad
Numan Soemantri. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar